Sabtu, 21 Maret 2009

Iwak manuk nan gurih

Tak semua burung di Pasar Peksi Banyuputih dijual hidup-hidup. Di sudut depan pasar burung Jl Imam Bonjol Kota Salatiga, setiap burung dijual dalam keadaan mati, namun halal untuk dimakan.
Iwak Manuk Rawapening, demikian nama warung makan yang menempati kios No 2 Pasar Peksi Banyuputih. Menu di tempat makan itu memanfaatkan resource Rawapening, baik burung, ikan maupun tumbuhan.
Iwak manuk adalah menu favorit pelanggan setia warung itu. Tekstur daging manuk rawa yang mirip ayam kampung namun dengan cita rasa yang lebih gurih, rupanya membuat para pelanggan setia Iwak Manuk Rawapening ketagihan menyantapnya.
Warung yang resmi dibuka bersamaan dengan peresmian Pasar Peksi Banyuputih oleh Menteri Negara Koperasi dan UKM Suryadharma Ali, 20 Januari 2009 silam itu, menyajikan menu makanan olahan sumber daya Rawapening. Penganan olahan dari manuk rawa yang populasinya melonjak saat musim tanam padi di Rawapening itu adalah primadonanya.
Secara tradisional, warga di seputaran Rawapening mengkonsumsi burung-burung yang dianggap hama saat menjelang musim panen padi itu. Mereka merentang jala besar pada tonggak-tonggak bambu. Burung-burung yang terbang dan terperangkap pada jala para “Jaka Tarub Rawapening” itulah yang selanjutnya dipasok sebagai bahan baku masakan Iwak Manuk Rawapening di Pasar Peksi Banyuputih tersebut.
Selain iwak manuk goreng dan bakar, ada juga wader goreng, pepes mujair, dan mujair asam manis dalam komposisi yang menjanjikan selera itu. Meski menu andalan itu cukup menarik perhatian pecinta wisata kuliner, pengelola Iwak Manuk Rawapening tetap menyiapkan daging dan telur ayam di warungnya.
“Dalam satu rombongan konsumen, terkadang ada juga yang tak suka daging burung atau ikan rawa, kami tak ingin mengecewakan mereka,” kilah Agus Mabruri, sang pengelola warung. Diakuinya, jumlah konsumen semacam itu tak banyak jumlahnya. Lebih banyak orang dari berbagai tempat yang khusus datang ke Pasar Peksi Banyuputih demi menikmati daging manuk rawa.
Pecinta wisata kuliner yang datang dari Semarang, Kendal, Magelang, Solo, Boyolali, Demak, Kudus, dan Purwodadi demi memuaskan hasrat menyantap iwak manuk itu, bahkan tegas menolak menu lain apabila kebetulan persediaan manuk rawa habis. “Mereka yang pernah kecewa karena kami kehabisan stock, lalu meminta nomor telepon kami. Jadi, untuk selanjutnya, apabila mereka hendak ke Salatiga, mereka menelepon dulu untuk memastikan persediaan kami, sekaligus menyampaikan pesanan,” paparnya.
Agus semula sempat menolak membagikan nomor telepon selulernya, 081326260850, kepada para pelanggannya. “Tidak fair,” katanya beralasan, “Lebih adil jika setiap pelanggan punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan jatah iwak manuk kami.” Nyatanya para pecinta iwak manuk asal luar kota senantiasa menelpon Agus terlebih dulu sebelum bertandang ke Kota Salatiga.
Iwak Manuk Rawapening di Pasar Peksi Banyuputih buka sesuai jadwal operasional pasar burung itu. Mulai pukul 08.00 WIB hingga 16.00 WIB. “Tapi setiap hari Jumat kami libur,” pungkas Agus. [B]

Pelaminan bagi ayam hutan

Masih barang second hand, masih pula di Pasar Peksi Banyuputih. Namun kali ini bukan sangkar yang digantung di langit-langit, namun berdiri kokoh di lantai. Bahannya juga kayu jati, namun dipadu dengan kasa yang lubangnya 0,5 x 0,5 sentimeter. Finishingnya dengan cat besi, kini warnanya abu-abu.
Pemilik lamanya merancang sangkar ini untuk pelaminan ayam hutan. Karena itu, sangkar dirancang dua bilik. Satu lebih lebar dari lainnya, dipisahkan sekat yang dengan mudah digeser dari luar kandang untuk menyatukan kedua bilik. Masing-masing bilik dilengkapi pintu tersendiri.
Sangkar yang tepat untuk pelaminan unggas, termasuk untuk menyilangkan spesiesnya. Bilik 90 x 40 sentimeter dengan tinggi 60 sentimeter belum termasuk kaki-kakinya itu ditaksir tepat untuk pasangan unggas sebesar ayam hutan.
Pedagang di Pasar Peksi Banyuputih, Kota Salatiga menawarkannya ”kandang kawin” second hand itu Rp 400.000. Tawaran yang tentu menarik hati penggemar unggas yang berpikir untuk merintis penangkarannya. [B]

Jumat, 20 Maret 2009

Berburu sangkar second hand

Rangkaian tulang kayu jati dan buluh bambu bisa menjadi sangkar burung yang sangat menawan hati di tangan ahlinya. Sangkar karya pengrajin asal Jawa Tengah cukup kondang ke seantero Nusantara. Sebut saja misalnya sangkar bikinan Delanggu Klaten, Mojosongo Solo, Sraten Salatiga, atau Gayamsari Semarang.
Sangkar-sangkar burung itu bisa dibeli langsung dari toko-toko di pasar burung, atau bisa pula dipesan dari pengrajinnya. Jika membeli di toko, konsumen tentu hanya bisa memilih sangkar yang tersedia. Kalau ingin sangkar yang sesuai kebutuhan dan selera, maka konsumen harus rela menunggu sedikit lama. Bisa dengan memesan dari pedagang, atau mendatangi langsung pengrajinnya. Tentu saja, dengan risiko harus merogoh kocek sedikit lebih dalam.
Namun mengandalkan keberuntungan, berburu sangkar second hand, sejatinya tak kalah mengasyikkan. Misalnya di Pasar Peksi Banyuputih Kota Salatiga, terpajang sangkar indah bikinan Udin Delanggu yang berhiaskan ornamen kepala suku Indian. Warna-warninya mencorong karena finishing-nya memanfaatkan teknik airbrush. Sangkar ukuran 50 cm x 50 cm dengan tinggi 75 cm itu ditawarkan dengan harga Rp 600.000, kurang dari separuh harga barunya yang tentunya lebih dari Rp 1,5 juta. [B]

Rabu, 18 Maret 2009

Inilah Pasar Peksi Banyuputih...

Pasar Peksi Banyuputih diresmikan Menteri Negara Koperasi dan UKM, Suryadharma Ali, Selasa Pon, 20 Januari 2009. Pasar Banyuputih merupakan pasar tradisional di Kecamatan Sidorejo Kota Salatiga yang direnovasi dengan Rp 750 juta dana hibah Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah.

Dana hibah Kementerian Koperasi dan UKM tersebut merupakan dana bergulir pemberdayaan pedagang pasar yang harus dikembalikan dalam kurun waktu delapan tahun. Setelah dikembalikan, dana itu bisa digunakan untuk pemberdayaan pedagang pasar lain di wilayah Kota Salatiga.

Renovasi Pasar Banyuputih berlangsung sekitar lima bulan sejak akhir Februari 2008, dari tiga bulan yang direncanakan sebelumnya. Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Kota Salatiga di bawah pimpinan Ir Husnani MM waktu itu menunjuk Koperasi Serba Usaha (KSU) Mitra sebagai pelaksana renovasi yang dilaksanakan secara swakelola tersebut.

Dana hibah Kementerian Koperasi dan UKM digunakan KSU Mitra untuk membangun kembali Pasar Banyuputih sehingga memiliki 29 kios dan 112 los. Pasar Banyuputih yang berdiri di atas lahan seluas 4.290 m2 dengan 2.566 m2 di antaranya dimanfatkan untuk pasar hewan itu semula memiliki 39 kios dan 124 lapak yang mampu menampung 50-an pedagang serta 130-an pedagang kaki lima.

Kendati jumlah kios dan lapak menyusut, sementara masyarakat menyoroti tajam kualitas bangunan yang tak sebaik sebelumnya dengan fasilitas pendukung yang sangat minim, Pemkot Salatiga tetap bangga mengundang Menteri Koperasi dan UKM yang juga Ketua DPP Partai Persatuan Pembangunan, Suryadharma Ali datang meresmikan pasar itu. Menteri bahkan tak tahu bahwa Pasar Banyuputih kini bukan lagi diperuntukkan sebagai pasar tradisional heterogen sebagaimana tercantum dalam proposal, melainkan pasar burung atau pasar peksi.

Dalam seremonial yang digelar di halaman parkir Pasar Peksi Banyuputih, Menneg Koperasi dan UKM hadir didamping Kepala Dinas Koperasi dan UMKM Jateng Abdul Sulhadi dan Walikota Salatiga John Manuel Manoppo. Tampak hadir pula dalam kesempatan itu Wakil Walikota Diah Sunarsasih, Wakil Ketua DPRD Kota Salatiga Kasmun Saparaus, Muspida dan para pimpinan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan Pemkot Salatiga.

Suryadharma di sela peninjauan Pasar Peksi Banyuputih sempat pula didaulat membuka secara resmi lomba burung berkicau yang digelar paguyuban pedagang setempat untuk memeriahkan acara peresmian. Dia dipersilakan menaiki kursi tinggi untuk menggantungkan salah satu kandang burung peserta lomba pada gantangan.

Menneg Koperasi dan UKM lalu menyempatkan diri untuk melihat-lihat kondisi Pasar Banyuputih. Selain berbincang dengan sejumlah pedagang pakan burung, Suryadharma Ali sempat menengok Iwak Manuk Rawapening, warung penganan khas yang memanfaatkan sumber daya Rawapening sebagai andalan bahan makanan.[B]